Ini Arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO di Bahasa Pergaulan!
Kawula Muda, sudah tahu arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO?
JAKARTA, KOMPAS.TV - Istilah FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO seringkali digunakan oleh generasi milenial dan gen Z di sosial media.
FOMO, JOMO, FOBO dan YOLO adalah sebuah singkatan dari istilah bahasa Inggris yang disebut sebagai bahasa gaul.
Istilah-istilah ini bukan hanya sebatas bahasa gaul semata namun juga keadaan psikologis yang bisa menjerumuskan ke emosi negatif.
Orang yang mengalami FOMO, JOMO, FOBO dan YOLO bisa saja terjerumus ke dalam gaya hidup yang tidak baik.
Berikut Kompas.TV rangkum arti FOMO, JOMO FOBO dan YOLO, dilansir dari berbagai sumber, Senin (22/8/2022).
Baca Juga: Jangan Sampai Keliru, Mari Mengenal Istilah FOMO-JOMO
FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out yang artinya takut tertinggal.
Yang dimaksud takut tertinggal dalam istilah ini adalah persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik daripada orang tersebut.
Sosial media membuat pengalaman FOMO semakin buruk. Sebagian besar remaja dan dewasa muda mungkin sangat rentan terhadap efek ini.
Pasalnya, sosial media membuat orang lain lebih memposting dan menyebarkan kegiatan sehari-harinya sehingga menyebabkan perbandingan dan ketakutan yang kuat akan ketertinggalan.
FOMO pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004 dan kemudian digunakan secara luas sejak 2010.
Istilah unik ini akhirnya masuk ke kamus Oxford pada tahun 2013.
Cara mengatasi emosi negatif dari FOMO adalah dengan fokus terhadap perkembangan dan kelebihan diri, berteman dengan orang positif, hingga berdamai dengan keadaan.
Baca Juga: Apa Itu Istilah FOMO-JOMO?
JOMO atau Joy of Missing Out adalah kebalikan dari FOMO. Istilah ini memiliki arti tetap senang meski tertinggal.
Namun, Psikolog Adi Dinardinata memperingatkan agar tidak salah kaprah memahami JOMO.
Orang yang yang "JOMO" bukan berarti sama sekali meninggalkan sosial media dan tak acuh dengan sekitar.
Adi mengatakan JOMO lebih pada sikap tetap merasa nyaman meskipun melewatkan banyak hal-hal yang sebenarnya tidak ingin dilewatkan.
"JOMO ini kalau tidak diedukasi dengan baik akan menyesatkan masyarakat untuk pindah dari yang ekstrem satu ke masalah yang ekstrem lain," ujar Adi, dilansir dari Kompas.com.
Orang yang mengklaim melakukan JOMO, kata Adi dengan tidak melakukan apapun dan tidak produktif juga bukan sikap yang tepat.
"Walaupun menikmati itu nggak bagus juga karena tidak produktif. Kita tidak mengejar apa yang kita inginkan, itu masalah juga, walaupun dia happy," terangnya.
Baca Juga: Yuks Kenalan Sama Bahasa Gaul Mimin Twitter BMKG
Istilah FOMO kemudian menginspirasi istilah unik lain seperti FOBO yakni Fear of Better Option yang artinya takut akan opsi lebih baik.
FOBO adalah situasi seseorang terjebak dalam pilihan-pilihan yang harus diambil ketika dihadapkan dengan suatu keputusan.
Orang tersebut secara obsesif akan memikirkan semua pilihan yang ada karena takut kehilangan opsi “terbaik” dan menyesal dikemudian hari.
Melansir laman ugm.ac.id, ini tanda-tanda seseorang sedang mengalami FOBO.
Cara mengatasi FOBO adalah dengan menyadari gejalanya, membuat struktur prioritas dalam hidup Anda dan percaya akan keputusan yang telah diambil.
Baca Juga: Selasa Bahasa: Ketahui Penggunaan Kata Gaul "Kuy"
Anda pasti pernah mendengar mengenai YOLO atau You Only Live Once artinya kamu hanya hidup sekali.
Bagi sebagian orang, YOLO dijadikan sebuah mantra untuk tidak membuang-buang waktu dan lakukan apa yang diinginkan karena hidup hanya sekali.
Sikap YOLO bisa berdampak positif karena banyak orang akan lebih menikmati hidup daripada membuang waktu memikirkan pendapat orang lain atau keadaan yang mengikatnya.
Namun, tidak selamanya YOLO bersifat positif, sikap ini juga berdampak negatif bagi orang yang tidak bisa mengontrolnya.
Rupanya, YOLO juga menyebabkan perilaku yang lebih sembrono dan kurang sehat.
Cara Menanggulangi FOMO, YOLO, dan FOPO
Untuk menghadapi dampak negatif dari FOMO, YOLO, dan FOPO, beberapa langkah berikut dapat detikers lakukan:
1. Latih Pernapasan Dalam: Teknik pernapasan dalam dapat membantu menenangkan diri dan mengurangi kecemasan yang muncul karena FOMO atau FOPO.
2. Berpikir Positif dan Fokus pada Diri Sendiri: Cobalah mengalihkan fokus dari opini orang lain dan perbandingan sosial ke kemampuan dan potensi diri sendiri. Hal ini dapat membantu mengurangi dampak FOPO dan FOMO.
3. Penggunaan Media Sosial yang Bijak: Mengurangi waktu di media sosial dapat membantu menekan perasaan cemas akibat perbandingan sosial dan mengurangi dorongan impulsif terkait YOLO.
4. Kembangkan Filosofi Hidup yang Sehat: Memiliki prinsip hidup yang kuat dapat membantu seseorang untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan tidak terpengaruh oleh tekanan sosial atau tren sesaat.
5. Relaksasi dan Meditasi: Latihan relaksasi seperti meditasi dapat membantu mengurangi kecemasan yang timbul akibat FOPO atau FOMO, serta mendorong lebih banyak kesadaran dalam menghadapi setiap situasi hidup.
Dengan mengenali faktor-faktor pemicu serta cara menanggulangi ketiga fenomena ini, generasi muda dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan produktif, tanpa harus terjebak dalam tekanan sosial yang tidak perlu.
Itulah Penjelasan mengenai fenomena FOMO, YOLO dan FOPO. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis M. Hasbi Fauzi, mahasiswa program Magang Merdeka di detikcom
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
tirto.id - Di media sosial, sedang ramai istilah "FOMO Konser", hal ini berkaitan dengan beberapa selebgram yang dianggap FOMO konser Blackpink.
Warganet mencibir selebgram yang bukan fans Blackpink atau bukan pendengar Kpop tetapi ikut-ikutan nonton konser, bahkan membeli tiket paling mahal.
Mereka menganggap para selebgram ini FOMO konser. Apa itu FOMO konser dan mengapa FOMO berkaitan dengan media sosial?
FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out atau rasa takut ketinggalan. Ini adalah respons emosional terhadap ketakutan tidak bisa mengikuti tren atau sesuatu yang sedang berjalan.
FOMO sering menyebabkan perasaan tidak nyaman, ketidakpuasan, depresi dan stres. Maraknya media sosial telah meningkatkan prevalensi FOMO selama beberapa tahun terakhir.
FOMO disebabkan oleh perasaan cemas seputar gagasan bahwa pengalaman menarik atau peluang penting terlewatkan atau diambil.
Menurut Tech Target, FOMO dihasilkan oleh amigdala - bagian otak yang mendeteksi apakah sesuatu merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup atau tidak.
Bagian otak ini merasakan kesan ditinggalkan sebagai ancaman, menciptakan stres dan kecemasan. Seseorang akan lebih mungkin mengalami FOMO jika sudah sangat sensitif terhadap ancaman lingkungan.
Ini termasuk orang-orang yang bergumul dengan kecemasan sosial, perilaku obsesif atau kompulsif -- termasuk gangguan obsesif-kompulsif yang didiagnosis -- atau memiliki bentuk trauma emosional di masa lalu.
Ponsel cerdas dan media sosial telah meningkatkan terjadinya FOMO dengan menciptakan situasi di mana pengguna terus-menerus membandingkan kehidupan mereka dengan pengalaman ideal yang mereka lihat diposting secara online.
Aplikasi dan situs web seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Snapchat memudahkan untuk melihat apa yang dilakukan orang lain.
Versi glamor kehidupan mereka yang disiarkan di fitur-fitur seperti Instagram Stories atau wall Facebook mengubah perasaan pengguna tentang apa yang normal dan membuat mereka berpikir bahwa mereka melakukan lebih buruk daripada rekan-rekan mereka.
Orang-orang melihat ke luar pada pengalaman orang lain daripada ke dalam pada hal-hal besar dalam hidup mereka.
Pemasaran FOMO telah muncul sebagai cara untuk membujuk konsumen membeli produk tertentu atau menghadiri acara.
Pemasaran FOMO memicu ketakutan pelanggan akan kehilangan untuk menginspirasi mereka mengambil tindakan. Beberapa strategi pemasaran FOMO meliputi:
Sementara pemasaran FOMO berhasil membuat orang membeli lebih banyak, hal itu berdampak negatif pada konsumen dengan memicu depresi dan kecemasan yang ditimbulkan oleh FOMO.
tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia PutsanraEditor: Addi M Idhom
Hi Learners!! Kalian tau kan kalau zaman sekarang udah semakin canggih, social media juga udah banyak banget, seperti Twitter, Path, Instagram, dan masih banyak lagi yang lain social media yang bisa kita gunakan. Dan pastinya ada banyak juga bahasa gaul yang banyak digunakan anak zaman sekarang. Sebagai pengguna socmed, kita pasti sering mendengar kata YOLO. Apa sih arti YOLO? Yuk kita lebih Mengenal Arti YOLO dan Penggunaannya.
Nah sekarang kita akan Mengenal Arti YOLO dan Penggunaannya. Kata YOLO ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan dunia socmed. Tapi, anak zaman sekarang ngga jarang pakai hashtag YOLO di socmed mereka. Sebenarnya makna YOLO itu bagus, hanya saja kadang digunakan untuk alasan yang terlalu ‘bebas’. YOLO sendiri merupakan singkatan dari frasa You Only Live Once yang berarti kurang lebih sama dengan Hidup Cuma Sekali. Namun ada beberapa anak muda yang mengartikan YOLO dengan You Only Live On yang biasanya digunaka anak muda untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar.
Slogan ini biasa diucapkan oleh anak-anak muda saat melakukan suatu hal yang mungkin dilakukan sekali seumur hidup. Artinya hampir sama dengan frasa dari Bahasa Latin, Carpe Diem. Namun seringnya, frasa ini digunakan sebagai alasan ketika seseorang melakukan hal-hal yang menurut orang lain tidak wajar. Slogan ini diucapkan pertama kali sekitar tahun 2011 kemudian menjadi terkenal di tahun 2013 hingga sekarang. Slogan ini lebih sering dituliskan di sosial media seperti Twitter, Facebook dan Instagram.
Ini dia contoh penggunaan YOLO dalam percakapan Bahasa Inggris:
Kecemasan Berlebihan
Kecemasan yang berlebihan adalah gejala umum dari FOPO dan FOMO. Seseorang bisa merasa cemas saat melihat orang lain melakukan sesuatu yang tampaknya lebih menarik, atau saat merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi sosial.
YOLO sering mendorong seseorang untuk mengambil tindakan impulsif, yang bisa membawa kesenangan sesaat, tetapi berpotensi merugikan dalam jangka panjang. Sementara itu, FOMO bisa membuat seseorang ikut-ikutan tren tanpa benar-benar mempertimbangkan dampaknya.
Kesulitan Mengambil Keputusan
Orang yang mengalami FOPO sering merasa kesulitan dalam mengambil keputusan, karena terlalu takut akan kritik atau penilaian orang lain. Sedangkan mereka yang terpengaruh oleh FOMO mungkin membuat keputusan terburu-buru karena takut melewatkan sesuatu.
Mengenal Arti Bahasa Gaul FOMO, JOMO, FOBO, Yolo, dan Cara Penggunaannya
Nah, supaya nggak salah menggunakan istilah dari bahasa gaul itu, simak perbedaan arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO di bawah! Selain itu, ketahui juga cara penggunaannya yang tepat.
Baca juga: Artinya Instahusband: Kisah di Balik Foto Instagram Estetik Pasangan
Dampak FOMO, YOLO, dan FOPO
Ketiga fenomena ini memiliki dampak yang cukup serius, terutama bagi kesehatan mental dan sosial kamu detikers. FOMO dapat menyebabkan rasa tidak puas dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, yang berujung pada stres dan kecemasan.
FOPO bisa membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri dan terjebak dalam lingkaran perasaan tidak aman. Sementara itu, penerapan YOLO yang tidak terkontrol dapat menimbulkan keputusan yang kurang bijaksana dan berpotensi merusak hubungan atau kondisi finansial.
Pengaruh Media Sosial
Media sosial memainkan peran besar dalam memicu FOMO dan FOPO. Platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok mendorong perbandingan sosial secara terus-menerus, sehingga seseorang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau menyesuaikan diri dengan standar yang ada. Sementara itu, YOLO sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan impulsif yang dipamerkan di media sosial.
Tekanan dari lingkungan sekitar juga menjadi faktor pemicu. Ketika seseorang berada di lingkungan yang sangat menghargai persetujuan atau status sosial, hal ini dapat memperburuk ketakutan akan tertinggal (FOMO) atau takut akan penilaian orang lain (FOPO). Di sisi lain, prinsip YOLO bisa muncul dari dorongan untuk terlihat berani dan berbeda di mata orang lain.
Menghindari Situasi Sosial
Seseorang dengan FOPO cenderung menghindari situasi di mana mereka bisa dinilai atau dikritik, seperti berbicara di depan umum atau memposting sesuatu di media sosial. Mereka juga sering merasa tidak nyaman saat harus berinteraksi dengan orang lain karena takut akan penilaian negatif.
Gejala FOMO, YOLO, dan FOPO
Ketiga fenomena ini juga memiliki gejala yang jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa berdampak pada kesejahteraan mental seseorang: